Friday, April 4, 2008

Dunia Intelektual Maroko-1

Ketika Aku mendapat konfirmasi lulus seleksi beasiswa S2 ke Timur Tengah dari IAIN Sunan Ampel Surabaya, Aku seperti terbang. “Terima kasih, ya Allah. Engkau beri hamba jembatan emas ke masa depan”. Aku seperti anak panah yang lepas dari busurnya. Segera berjumpalitan di kepalaku, angan-angan yang lama terpendam karena situasi pesantren yang tidak memungkinkan aplikasinya.

Aku betul-betul terbang dengan pesawat Gulf Air dari Jakarta ke Casablanca. Selama 16 jam perjalanan udara itu, Aku masih seolah tak sadar, “benarkah Aku bisa kuliah S2 ke luar negeri dengan biaya Negara?”. Aku mulai merunut satu-satu apa yang ingin Aku kejar. Aku ingin terus cerdas secara intelektual. Aku ingin mahir betul berbahasa Arab. Aku ingin lepas dari belitan-belitan kultural yang menghadang pemuaian kapasitas intelektualku. Aku ingin bisa berbahasa Perancis. Aku ingin mendalami pemikiran Islam kontemporer. Aku ingin tahu lebih banyak tentang al-Jabiri. Banyak sekali yang Aku inginkan. Aku tidak pernah ingin hanya sekedar secara formal mendapat ijazah S2 semata.

Memang hanya dua nama yang Aku kenal saat-saat sebelum Aku berangkat ke Maroko: Mohamed Abed al-Jabiri dan Fatima Mernissi. Saat itu, al-Jabiri sedang ramai sekali diperbincangkan di kalangan Intelektual Islam Indonesia. Trilogi Kritik Nalar Arab-nya mendapat apresiasi dimana-mana, terutama di kalangan anak muda NU anti kemapanan. Sementara itu, Fatima Mernissi banyak disebut kalangan feminis Islam karena pembelaannya terhadap kaum perempuan dengan menunjukkan apa yang mereka sebut sebagai sikap misoginis dari teks-teks agama terhadap perempuan.

Aku yang lama di pesantren mengalami semacam kebingungan di tengah dua tradisi intelektual yang tarik menarik. Di satu sisi, setiap terlibat diskusi dengan kawan-kawan mahasiswa di luar pesantren semangat pemberontakan atas rigiditas kaum elit pesantren terasa sangat kuat, namun ketika harus kembali terbenam dalam rutinitas dan pelukan budaya pesantren, semangat itu seperti lahar yang dipendam Gunung Merapi yang tidak jadi meledak. Alhasil, kejutan bisa lolos melanjutkan belajar ke Maroko betul-betul Aku rasakan sebagai jalan keluar amat manis dari kondisi saat-saat ujung Aku di Pesantren yang jauh lebih banyak menggelisahkan ketimbang menenteramkan.

Ternyata, apa yang Aku temukan di Maroko, tidak sepenuhnya seperti apa yang Aku bayangkan sejak awal. Dalam semangat memburu lebih jauh tentang al-Jabiri, pertama kali, Aku terhenyak dengan buku tebal Karya George Tharabsyi, dengan bendera “Kritik atas Kritik Nalar Arab”. Untuk mengkritik satu buku al-Jabiri: Takwin al-Aql al-Arabi saja, George meluncurkan tiga buku. Ia membaca buku al-Jabiri, buku-buku yang dibaca al-Jabiri dan buku-buku yang seharusnya dibaca al-Jabiri tetapi tidak dibacanya. Hasilnya dahsyat sekali, ia menguliti, menunjukkan bolong-bolong dan memberi pikiran tandingan yang melampaui klaim-klaim al-Jabiri dalam Trilogi Kritik Nalar Arab-nya. Semangat awalku menjadi terevisi.

Kesempatan belajar di Maroko memang membuka cakrawalaku luas sekali. Aku tidak hanya bisa membaca al-Jabiri, tetapi juga kontra al-Jabiri; tidak hanya membaca Fatima Mernissi tetapi juga kontra Mernissi; tidak hanya membaca karya-karya yang menyerang Abu Hurairah misalnya, tetapi juga karya selevel yang membela Abu Hurairah. Ternyata, kebanggaan sekedar memberontak yang ramai diadopsi kalangan anak-anak kampus Islam sebelum Aku berangkat ke Maroko, mengidap kelemahan yang sangat fatal. Belum lagi menguasai betul karya-karya tokoh-tokoh acuan untuk memberontak tradisi, karya tandingannya yang tidak kurang mendalam hampir tak tersentuh. Aku yang hampir tergerus arus pemberontakan anak-anak muda itu, harus merevisi pandangan-pandanganku sendiri, menyadari betapa banyak sekali informasi pengetahuan yang belum Aku lahap.

Akupun menyusun ulang langkah-langkah ke depan. “Kecelakaan” diterima di jurusan Akidah Filsafat Universitas Qarawiyyin dari keinginan semula untuk mengambil jurusan Fiqh-Ushul Fiqh, mengantarkan Aku untuk menyusun ulang kepingan pengetahuan filsafatku yang berserak-serak; memberiku kesempatan untuk menimba langsung pengetahuan turats Islam dari ulama Maroko, dosen-dosenku di Fakultas Ushuluddin Universitas Qarawiyyin. Aku belajar Tafsir dari Dr. Idriss Khalifah; Hadits dari Syekh Abdullah Bin Shiddiq; Ilmu Sosial dari Dr. Abdussalam al-Gannouni; Ilmu Kalam dari Dr. Muhammad Benyaisy; Filsafat dari Dr. Abdullah as-Syarif; profil pemikir Islam dari Dr. al-Murabith at-Tirgi.

Aku sangat terkesan dengan kehangatan dosen-dosenku itu. Tidak jarang jika berpapasan mereka dulu yang menyapa kita. Kalau kita punya kepentingan, mereka dengan akan tekun mendengar ‘curhat’ kita. Hampir tidak pernah terdengar kata ‘tidak’, jika kita meminta sesuatu. Bahkan Dr. Abdullah As-Syarif membuka pintu rumah dan ruang perpustakaan pribadinya untuk melayani hasrat keingintahuan murid-murid asingnya dari Indonesia ini. Dr. Bensyaiy, sekali seminggu mengajak kita untuk ikut majelis zikir-nya di Zawiyah Qadiriyah Butsyisyiah. Aku jadi betah dengan suasana yang ramah ini. Berbeda sekali dengan jarak hirarkis yang tebal antara santri dan kiai di pesantrenku sebelum Aku ke Maroko.

Di luar ruang kuliah, Aku terus memantau perkembangan wacana intelektual di tingkat nasional Maroko. Toko buku al-Edrissi di Tetouan atau Darul Aman di Rabat, selalu menjadi langgananku untuk sekedar memantau buku baru, jika tidak tersedia cukup uang untuk membeli. Di samping itu, buku-buku saku seratusan halaman juga ramai dipajang di lapak-lapak koran-majalah pinggir jalan. Sejauh amatanku, intensitas peluncuran wacana baru di dunia intelektual Maroko, cukup tinggi. Selalu saja ada buku baru yang diluncurkan setiap bulan. Lebih dari tiga tahun terakhir, al-Jabiri meluncurkan serial buku “Mawaqif” yang memuat apresiasinya terhadap kejadian-kejadian baru di dunia Arab-Islam dan Internasional. Kita terus bisa bertemu al-Jabiri setiap bulan dengan pikiran-pikiran segarnya lewat serial itu.

Mereka memang berkarya total di dunia yang menjadi keahliannya. Tidak tergoda untuk lompat-lompat ke dunia lain, politik misalnya. Urusan pimpinan tertinggi negara memang sudah final di negeri ini dengan sistem kerajaannya. Namun lebih dari itu, ruang untuk berekspresi tersedia cukup bagus, apalagi setelah Raja Muhammad VI naik tahta, tahun 1999. Lebih dari itu, kesejahteraan dosen juga sangat memadai untuk hidup lebih dari cukup dengan fasilitas yang memadai juga. Rata-rata, dosen PT bergaji 10000 dirham Maroko (setara 10 juta rupiah) dengan pengeluaran 5-6 ribu dirham perbulan. Maka tidak heran jika mereka ‘enjoy’ sekali dengan dunia membaca, meneliti, menulis dan mengeluarkan karya serius dan berkualitas.

Aku ingin cerita satu-satu tokoh-tokoh intelektual Maroko. Tunggu terus serial BIM ini. Insya Allah, nanti Aku cerita lebih rinci.

Plambik, 23 Mei 2007

3 comments:

samsulbahri said...

Catatan semacam ini sangat menginspirasi. Terutama buat saya yang tengah mengalami kebuntuan jalan untuk melanjutkan karir intelektual saya. Kini saya menekuni pekerjaan yang tidak saya bayangkan sebelumnya: berniaga/berdagang. Tetapi, karena saya telah lebih dulu tinggal lama di dunia akademik, membuat saya tetap haus akan ilmu dan pandangan-pandangan baru. Untunglah, teknologi (internet/modem) membuat saya dapat terus mengisi rasa haus saya dengan percikan air pengetahuan. Secara kebetulan saya menemukan catatan blog ini setelah searching di google, pekerjaan yang setiap hari saya lakukan dari dalam kamar rumah saya. Seperti catatan-catatan lain yang berserakan di dunia maya, catatan ini sangat bermanfaat. Terimakasih.

Unknown said...

jadi pengen kesana deh, rencana habis lebaran pengen ke marocco tuk liburan bertemu dengan teman di agadir, boleh tanya2 ga' soalnya ini baru pertama saya berangkat kesana. di bantu yach, chokran yaa okh karem.

أحمد ابن عبد الله said...

pendaftaran untuk tahun ini kapan di buka?