Friday, April 4, 2008

Cerita Baru dari Negeri Matahari Terbenam

Belajar Islam di Maroko? Kedengarannya memang agak aneh. “Kenapa pilih Maroko?”, tanya heran seorang kawan sesama calon penerima beasiswa S2 Timur Tengah ketika kami berkumpul untuk pelatihan di Jakarta paruh akhir 2000. Sekenanya Aku bilang, “Aku mau belajar filsafat dan Bahasa Perancis”.

Pilihan belajar Islam di Maroko memang tidak selazim Mesir atau Arab Saudi. Yang terakhir ini adalah kiblat intelektual ulama Nusantara abad ke-17 s/d 19. Tentu dengan mudah kita bisa menyebut Syekh Nawawi Banten, Syekh Mahfudz Termas, Syekh Arsyad Banjar dan seterusnya sebagai nama-nama besar ulama Nusantara jebolan tanah Hijaz. Akhir abad ke-19, posisi sentral ini mulai bergeser ke Cairo. Pelajar Islam Nusantara mulai banyak belajar ke Universitas al-Azhar Mesir. Bahkan hingga saat ini, jumlah pelajar Islam Indonesia di Mesir tetap yang terbanyak jika dibandingkan dengan negara-negara lain di Timur Tengah.

Namun Maroko adalah cerita baru. Perhatian para pelajar Islam kini mulai sedikit bergeser ke barat. Ya, ke Maroko. Islam di negeri ini menawarkan banyak hal berbeda dan segar dari apa yang biasa kita temui di Indonesia, Saudi Arabia atau Mesir.

Aku betul-betul seperti memasuki kawasan “Islam yang lain” begitu mulai bersentuhan dengan dunia keagamaan di Maroko. Adzan Maroko. Dengan lagu sederhana dan pendek-pendek, panggilan shalat ini terasa aneh di telinga, tetapi asyik setelah menikmatinya. Mungkin, persis seperti makan buah Zaitun yang pertama kali terasa menyengat tetapi tidak bisa melepasnya setelah kita ketagihan. Kami sering tertawa sendiri ketika ada yang mencoba menirukan adzan Maroko ini.

Bacaan Qur’annya juga sangat khas. Bacaan Qur’an riwayat Imam Warsy yang dipakai di Maroko menjadi sesuatu yang sama sekali baru bagiku. Pesona bacaan ini akan terasa begitu lepas shalat Magrib. Di seluruh masjid di Maroko, setiap bakda shalat Magrib ada lingkaran-lingkaran semaan al-Qur’an oleh para imam dan jamaah masjid untuk mengulang hafalan al-Qur’an mereka. Karena saking banyaknya, fenomena para penghafal Qur’an menjadi sesuatu yang biasa di negeri ini.

Kembali aku teringat pesan Pak Tolchah Hasan. “Pelajari Fiqh Maliki-nya!”. Kita memang bisa melihat live penerapan Fiqh Maliki di negeri ini. Pernah aku diteriaki orang di sebuah masjid karena swar-swer saja memakai air untuk wudlu gaya Fiqh Syafii. Mereka hanya wudlu dengan seember kecil air. Setiap mengusap anggota wudlu, mereka akan kembali mencelupkan tangan ke ember kecil tersebut. Cara wudlu yang betul-betul ideal bagi masjid yang mahal membayar air dan dipakai banyak jamaah. Hemat dan praktis. Yang asyik tentu saja di musim dingin. Di sebelah tempat imam selalu tersedia batu untuk tayammum. Mereka banyak tayamum di musim dingin, khususnya untuk shalat shubuh.

Aku juga sering kaget bercampur takut saat melihat anjing-anjing besar bersama tuannya bebas melenggang di tempat-tempat umum. O ya, bukankah anjing tidak najis menurut Fiqh Maliki?. Anjing menjadi sangat bersahabat dengan orang Maroko. Sambil tersenyum, mereka akan bilang, “ma tkhfsy” (jangan takut!), jika melihat kita agak ragu untuk berpapasan saat mereka berjalan membawa anjing-anjing mereka. Aku ngeri juga dekat-dekat anjing yang segede-gede anak kerbau itu!

Fiqh Maliki memang telah melembaga secara kultural dan formal di negeri ini. Masyarakat hidup sehari-hari dengan Fiqh Maliki. Identitas keberagamaan orang Maroko bisa disebut sebagai: berfiqh Maliki, bertashawuf Junaid al-Bagdadi dan berakidah Asy’ari. Selain fokus ke Fiqh Malikinya, tidak beda bukan dengan identitas keberagamaan kaum Nahdliyyin di Indonesia?. Secara formal negara mengadopsi Fiqh Maliki sebagai acuan utama dalam fatwa dan pengundangan hukum. Bahkan lebih dari itu, secara intelektual Fiqh Maliki mendapat ekspresi dan eksplorasi yang istimewa.

Di perpustakaan umum Tetouan, aku pernah menemukan dokumentasi berjilid-jilid seminar tentang Qadli Iyadl, salah satu tokoh Madzhab Maliki kebanggaan Maroko. Tesis dan disertasi banyak yang didekasikan untuk mengembangkan fiqh Maliki. Lembaga-lembaga pendidikan tinggi juga banyak yang bekerja untuk itu. Darul Hadits al-Hassaniyah, lembaga pendidikan tinggi terkemuka di Rabat, salah satunya didirikan untuk melestarikan dan mengembangkan Fiqh Maliki. Di lobi kampus, kita akan dengan mudah menemukan pajangan karya-karya disertasi para alumnusnya yang sekarang sudah menjadi ulama-ulama terkemuka di Maroko yang bertema detil-detil Fiqh Maliki.

Yang lebih memikat, eksplorasi di wilayah ushul fiqh juga tidak kurang gencar dilakukan. Ilmu Maqashid Syariah yang menemukan bentuk teoritisnya di tangan Syekh Abu Ishaq as-Syathibi juga menjadi daya tarik studi Islam di Maroko. Perhatiannya tidak lagi di tingkat orang per orang, tetapi lembaga. Untuk menyebut orang, Syekh Allal al-Fasi menulis buku “Maqashid as-Syariah al-Islamiyah wa Makarimuha”, Dr. Ahmad ar-Raisuni menulis “Nadzariyat al-Maqashid ‘Inda al-Imam as-Syathibi”, Dr. Abdul Majid as-Shugair menulis “al-Fikr al-Ushuli wa Isykaliyat as-Sulthah al-Ilmiyah fi al-Islam: Qiraah fi Nasy’at Ilm al-Ushul wa Maqashid as-Syari’ah”, dll. Sementara di tingkat lembaga, banyak jurusan S2-S3 yang khusus dibuka untuk mempelajari Maqashid Syariah dengan segala isi dan horizonnya.

Aku kira, menyerap Fiqh Maliki, Ushul dan Qawaid Fiqh-nya saja, tidak selesai hanya dalam waktu enam tahun. Apalagi jika ditambah dengan warisan intelektual Andalusia yang tidak kalah menariknya. Apalagi jika ditambah dengan serapan filsafat Eropa Modern, terutama Filsafat Perancis, yang dilakukan para intelektual Maroko secara berani dan bertanggung jawab. Apalagi jika ditambah dengan eksperimentasi para ulama Maroko di dunia tasawuf amali yang sudah diakui dunia Islam dengan zawiyah-zawiyah-nya (semacam pesantren) yang tersebar di seluruh penjuru negeri.

Dr. Hamid Asysyaq, Dosen dan Ketua Jurusan di Darul Hadits al-Hassaniyah yang suatu saat sempat kami undang berdiskusi di sekretariat Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Maroko berpesan agar kami jangan berhenti belajar di Maroko sebelum menangkap mutiara keilmuan ulama-ulama Maroko. Sejauh tangkapanku, Maroko memang memiliki pesona di Ilmu Maqashid, Filsafat Islam warisan Andalusia dan eksperimentasi olah rasa (tasawuf amali) yang dikembangkan para Sufi Maroko. Di sinilah, Aku menemukan jawaban mengapa belajar Islam ke Maroko.

Aku rasa, kalau AMCI (Agence Marocaine de Cooperation Internationale), lembaga di Kementerian Luar Negeri yang mengurus mahasiswa asing di Maroko, tetap memberi jatah sekitar 15 beasiswa per tahun untuk mahasiswa Indonesia yang hendak melanjutkan studi ke Maroko, cerita baru dari Negeri Matahari Terbenam ini akan semakin ramai di dunia intelektual Islam Indonesia.

Plambik, 17 April 2007

No comments: