Friday, April 4, 2008

Dunia Intelektual Maroko-2

“Kalau anda mengalami penipisan rasa kebangsaan, cobalah tinggal beberapa lama di luar negeri”. Aku merasa lebih menjadi Indonesia selama di Maroko. Setidaknya, Aku pernah ziarah ke Saudi Arabia, Mesir dan Iran. Dari pengalamanku yang secuil di negeri-negeri ini ditambah obrolan dengan beberapa kawan di Belanda dan Perancis, aku menemukan rasa keindonesiaan begitu kental di kalangan masyarakat Indonesia di luar negeri. Kalau disuruh memilih, terus tinggal di luar atau kembali ke tanah air, aku yakin akan lebih banyak yang mengambil pilihan kedua.

Di luar, kami masih lebih suka berbahasa Indonesia, masih setia makan nasi, senang sekali berkumpul di acara-acara kemasyarakatan Indonesia, lebih memilih makan bakso, rendang, empek-empek, nasi uduk, nasi pecel, mie ayam, mie kocok, sate madura, sate padang dan lain-lain, ketimbang pizza, hamburger, steak, kfc, tagize, harira, kebab, tamis, dan seterusnya. Beberapa kawan justru baru bisa main gamelan, tari saman, pencak silat dll setelah belajar di Maroko. Kalau ada acara hiburan di KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia), lagu-lagu dangdut selalu meledakkan suasana heboh.

Di Maroko, Aku betul-betul merasakan kehangatan keluarga besar Bangsa Indonesia. Di sini tidak ada sekat-sekat partai politik, organisasi keagamaan, latar kultural, suku dan asal daerah. Semuanya seperti anak ayam yang dirangkul nyaman oleh induk yang bernama Bangsa Indonesia, dengan satu bahasa Indonesia dan membayangkan masa depan di Indonesia. Kami, para mahasiswa Indonesia di Maroko, bergabung dalam satu organisasi PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) Maroko. Sejak tahun pertama di Maroko, Aku terlibat aktif di organisasi ini.

Di awal aktifitasku di PPI Maroko, Aku diserahi tugas mengawal Buletin La Mediterranee yang terbit bulanan. Mengawal penerbitan La Mediterranee membuatku memahami simpul-simpul tokoh dan pemikiran Maroko atau, jika diperluas, “al-Garb al-Islami”, satu istilah yang di Maroko lazim dipakai untuk menunjuk wilayah yang mewarisi kejayaan peradaban Islam yang berpusat di Andalusia meliputi Spanyol, Maroko, Aljazair, Tunisia, Libya dan Mauritania. Selama sekitar setahun mengelola buletin ini, aku merambah hampir semua wilayah keilmuan Islam mulai dari tafsir, hadits, ushul fiqh, filsafat, tasawuf, fiqh siyasah sampai fiqh perempuan.

Dunia intelektual Arab-Islam kontemporer memang mengakui Maroko sebagai gudang para pemikir dan penulis produktif. Sebutlah misalnya, al-Jabiri di kritik nalar, Salim Yafut di epistemologi, Abdul Majid as-Sugair di relasi kekuasaan versus pengetahuan, Muhammad Sabila di modernitas, Abdussalam Benabdelali di filsafat kontemporer, Abdullah al-Arawi di sejarah, Taha Abdurrahman di filsafat bahasa dan akhlak dan Ali Omleil di sosiologi. Aku pernah menulis di Jurnal Islam BK-PPI (Badan Kerjasama Perhimpunan Pelajar Indonesia) se-Timteng dan Sekitarnya tentang pemikiran filsafat di Maroko. Ternyata, hanya dalam empat puluh tahun, Maroko sudah bisa melahirkan pemikir-pemikir berkaliber internasional.

Ini baru di wilayah filsafat. Maroko juga punya futurolog. Namanya: el-Mehdi el-Manjra. Sebenarnya, sinyal tentang benturan peradaban yang membuat dunia goncang sekarang ini lebih dulu muncul darinya ketimbang Samuel Huntington. Hanya visi mereka beda: el-Manjra untuk menghindari, tetapi Huntington untuk mengompori. Dalam prediksinya, masa depan Eropa akan ada di tangan umat Islam. Ia juga mengatakan Arab memerlukan revolusi sekarang ini, sebab jika tidak bangsa Arab akan membayar ongkos sangat mahal karena segalanya sudah terlambat. Tokoh yang lebih banyak menghabiskan usianya di Amerika, Jepang dan Perancis ketimbang di negaranya sendiri ini sangat produktif mengeluarkan karya-karya yang menyerang sengit negara-negara kolonial lantaran penghinaan-penghinaan ekonomi, politik, kebudayaan dan nilai yang gencar mereka lancarkan kepada dunia ketiga sampai sekarang ini.

Tentu anda cukup familiar dengan Fatima Mernissi. Tokoh perempuan ini betul-betul membuktikan jargonnya, “menulis adalah obat awet muda paling mujarab”. Belum lama, ia mendapatkan penghargaan kesastraan dan kebudayaan dari Belanda. Karyanya tak pernah berhenti mengalir. Ternyata tokoh-tokoh perempuan lain, tidak kalah hebat. Kita bisa menyebut misalnya, Raja’ Naji Mukawi, pakar hukum keluarga; Aisyah al-Hijami, pakar ilmu maqashid dan Farida Zamrou, ulama perempuan yang belakangan serius meng-counter karya-karya Nasr Hamid Abu Zayd. Mereka adalah tiga ulama perempuan yang mendapat kehormatan menyampaikan ceramah di Majelis Raja Maroko pada Bulan Ramadlan yang disebut: ad-Durus al-Hasaniyah dengan pembicara tokoh-tokoh ulama dari seluruh dunia Islam.

Kebetulan sekarang ini Aku menulis Disertasi tentang ad-Durus al-Hassaniyah ini dengan fokus pada durus ulama-ulama Maroko. Kalau dulu ketika di Ma’had Aly Situbondo, Aku baru tahu sebatas nama al-Qurthubi, Ibnu al-Arabi Mufassir, Ibnu Arabi Sufi, Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun dan as-Syathibi sebagai ulama dari kawasan kejayaan peradaban Islam di Andalusia, kini Aku mengenal semakin banyak nama, pemikiran dan horizon intelektual kawasan ini. Setelah di Maroko, Aku baru mengenal nama-nama ulama semacam Abu Madyan (sufi amali), Qadli Iyadl (muhaddits, mufassir), Ibnu Abdil Barr (muhaddits), Ibnu Athiyah (mufassir), Imam Sahnun (faqih); atau yang lebih belakangan: Abu Hasan al-Yusi (ensiklopedis, salah seorang pensyarah Jam’ul Jawami’), Thahir Bin Asyur (mufassir), Allal al-Fasi (tokoh kemerdekaan dan ensiklopedis keilmuan Islam Maroko); atau yang lebih gress lagi Ahmad ar-Raisuni (pakar maqashid), Muhammad ar-Rougi (Faqih), keluarga Bin as-Shiddiq (keluarga muhaddits, tinggal di kota Tanger), Syekh Hamzah (guru spiritual Tarekat Qadiriyah Butsyisyiah), Ahmad Taufiq (sejarawan) dan masih banyak lagi.

Satu nama lagi yang tidak boleh dilupakan: Ibnu Batutah, petualang besar yang mampir dua kali di nusantara dalam perjalanannya ke China dan kembali ke Maroko. Kisah perjalanannya keliling dunia itu, dituangkannya dalam kitab Rihlah Ibnu Batutah. Kitab ini sekarang menjadi lebih lengkap setelah di-tahqiq oleh Dr. Abdul Hadi at-Tazi, sejarawan Maroko, mantan Duta Besar Maroko di Irak. Apa yang dilakukan oleh Vasco de Gama atau Christopher Columbus untuk kasus Eropa, sebenarnya telah didahului oleh petualangan para pejuang dan ulama Islam. Inilah salah satu sebab, mengapa Islam begitu cepat merambah dunia. Lagi-lagi Maroko menyertakan nama besar dalam bidang ini.

Maka ketika Kepala Pusdiklat Departemen Luar Negeri RI berkunjung ke Maroko, Aku sangat bersemangat mengusulkan lembaga bersama penelitian Islam Indonesia-Maroko. Banyak bukti hubungan Indonesia Maroko tidak sekedar hubungan diplomatik, tetapi intelektual dan keagamaan. Misalnya, kitab al-Ajrumiyah, yang dikarang ulama Maroko Syekh Shanhaji itu, sangat akrab dengan kalangan pesantren di Indonesia. Tarekat Tijaniyah yang berpusat di Fes memiliki banyak pengikut di Indonesia. Ciri khas keberagamaan yang moderat, seimbang dan toleran sama-sama berlaku di Maroko dan Indonesia. Banyak hal yang harus dipelajari bersama untuk menguatkan hubungan persahabatan kedua negara untuk memberikan model Islam yang selalu sesuai dengan perkembangan dunia.

Kalangan perguruan tinggi Islam di Indonesia kelihatannya perlu mulai serius meneliti kekayaan intelektual Islam di Maroko untuk memperkaya studi Islam di Indonesia. Siapa mau memulai?

Plambik, 19 Juni 2007

Dunia Intelektual Maroko-1

Ketika Aku mendapat konfirmasi lulus seleksi beasiswa S2 ke Timur Tengah dari IAIN Sunan Ampel Surabaya, Aku seperti terbang. “Terima kasih, ya Allah. Engkau beri hamba jembatan emas ke masa depan”. Aku seperti anak panah yang lepas dari busurnya. Segera berjumpalitan di kepalaku, angan-angan yang lama terpendam karena situasi pesantren yang tidak memungkinkan aplikasinya.

Aku betul-betul terbang dengan pesawat Gulf Air dari Jakarta ke Casablanca. Selama 16 jam perjalanan udara itu, Aku masih seolah tak sadar, “benarkah Aku bisa kuliah S2 ke luar negeri dengan biaya Negara?”. Aku mulai merunut satu-satu apa yang ingin Aku kejar. Aku ingin terus cerdas secara intelektual. Aku ingin mahir betul berbahasa Arab. Aku ingin lepas dari belitan-belitan kultural yang menghadang pemuaian kapasitas intelektualku. Aku ingin bisa berbahasa Perancis. Aku ingin mendalami pemikiran Islam kontemporer. Aku ingin tahu lebih banyak tentang al-Jabiri. Banyak sekali yang Aku inginkan. Aku tidak pernah ingin hanya sekedar secara formal mendapat ijazah S2 semata.

Memang hanya dua nama yang Aku kenal saat-saat sebelum Aku berangkat ke Maroko: Mohamed Abed al-Jabiri dan Fatima Mernissi. Saat itu, al-Jabiri sedang ramai sekali diperbincangkan di kalangan Intelektual Islam Indonesia. Trilogi Kritik Nalar Arab-nya mendapat apresiasi dimana-mana, terutama di kalangan anak muda NU anti kemapanan. Sementara itu, Fatima Mernissi banyak disebut kalangan feminis Islam karena pembelaannya terhadap kaum perempuan dengan menunjukkan apa yang mereka sebut sebagai sikap misoginis dari teks-teks agama terhadap perempuan.

Aku yang lama di pesantren mengalami semacam kebingungan di tengah dua tradisi intelektual yang tarik menarik. Di satu sisi, setiap terlibat diskusi dengan kawan-kawan mahasiswa di luar pesantren semangat pemberontakan atas rigiditas kaum elit pesantren terasa sangat kuat, namun ketika harus kembali terbenam dalam rutinitas dan pelukan budaya pesantren, semangat itu seperti lahar yang dipendam Gunung Merapi yang tidak jadi meledak. Alhasil, kejutan bisa lolos melanjutkan belajar ke Maroko betul-betul Aku rasakan sebagai jalan keluar amat manis dari kondisi saat-saat ujung Aku di Pesantren yang jauh lebih banyak menggelisahkan ketimbang menenteramkan.

Ternyata, apa yang Aku temukan di Maroko, tidak sepenuhnya seperti apa yang Aku bayangkan sejak awal. Dalam semangat memburu lebih jauh tentang al-Jabiri, pertama kali, Aku terhenyak dengan buku tebal Karya George Tharabsyi, dengan bendera “Kritik atas Kritik Nalar Arab”. Untuk mengkritik satu buku al-Jabiri: Takwin al-Aql al-Arabi saja, George meluncurkan tiga buku. Ia membaca buku al-Jabiri, buku-buku yang dibaca al-Jabiri dan buku-buku yang seharusnya dibaca al-Jabiri tetapi tidak dibacanya. Hasilnya dahsyat sekali, ia menguliti, menunjukkan bolong-bolong dan memberi pikiran tandingan yang melampaui klaim-klaim al-Jabiri dalam Trilogi Kritik Nalar Arab-nya. Semangat awalku menjadi terevisi.

Kesempatan belajar di Maroko memang membuka cakrawalaku luas sekali. Aku tidak hanya bisa membaca al-Jabiri, tetapi juga kontra al-Jabiri; tidak hanya membaca Fatima Mernissi tetapi juga kontra Mernissi; tidak hanya membaca karya-karya yang menyerang Abu Hurairah misalnya, tetapi juga karya selevel yang membela Abu Hurairah. Ternyata, kebanggaan sekedar memberontak yang ramai diadopsi kalangan anak-anak kampus Islam sebelum Aku berangkat ke Maroko, mengidap kelemahan yang sangat fatal. Belum lagi menguasai betul karya-karya tokoh-tokoh acuan untuk memberontak tradisi, karya tandingannya yang tidak kurang mendalam hampir tak tersentuh. Aku yang hampir tergerus arus pemberontakan anak-anak muda itu, harus merevisi pandangan-pandanganku sendiri, menyadari betapa banyak sekali informasi pengetahuan yang belum Aku lahap.

Akupun menyusun ulang langkah-langkah ke depan. “Kecelakaan” diterima di jurusan Akidah Filsafat Universitas Qarawiyyin dari keinginan semula untuk mengambil jurusan Fiqh-Ushul Fiqh, mengantarkan Aku untuk menyusun ulang kepingan pengetahuan filsafatku yang berserak-serak; memberiku kesempatan untuk menimba langsung pengetahuan turats Islam dari ulama Maroko, dosen-dosenku di Fakultas Ushuluddin Universitas Qarawiyyin. Aku belajar Tafsir dari Dr. Idriss Khalifah; Hadits dari Syekh Abdullah Bin Shiddiq; Ilmu Sosial dari Dr. Abdussalam al-Gannouni; Ilmu Kalam dari Dr. Muhammad Benyaisy; Filsafat dari Dr. Abdullah as-Syarif; profil pemikir Islam dari Dr. al-Murabith at-Tirgi.

Aku sangat terkesan dengan kehangatan dosen-dosenku itu. Tidak jarang jika berpapasan mereka dulu yang menyapa kita. Kalau kita punya kepentingan, mereka dengan akan tekun mendengar ‘curhat’ kita. Hampir tidak pernah terdengar kata ‘tidak’, jika kita meminta sesuatu. Bahkan Dr. Abdullah As-Syarif membuka pintu rumah dan ruang perpustakaan pribadinya untuk melayani hasrat keingintahuan murid-murid asingnya dari Indonesia ini. Dr. Bensyaiy, sekali seminggu mengajak kita untuk ikut majelis zikir-nya di Zawiyah Qadiriyah Butsyisyiah. Aku jadi betah dengan suasana yang ramah ini. Berbeda sekali dengan jarak hirarkis yang tebal antara santri dan kiai di pesantrenku sebelum Aku ke Maroko.

Di luar ruang kuliah, Aku terus memantau perkembangan wacana intelektual di tingkat nasional Maroko. Toko buku al-Edrissi di Tetouan atau Darul Aman di Rabat, selalu menjadi langgananku untuk sekedar memantau buku baru, jika tidak tersedia cukup uang untuk membeli. Di samping itu, buku-buku saku seratusan halaman juga ramai dipajang di lapak-lapak koran-majalah pinggir jalan. Sejauh amatanku, intensitas peluncuran wacana baru di dunia intelektual Maroko, cukup tinggi. Selalu saja ada buku baru yang diluncurkan setiap bulan. Lebih dari tiga tahun terakhir, al-Jabiri meluncurkan serial buku “Mawaqif” yang memuat apresiasinya terhadap kejadian-kejadian baru di dunia Arab-Islam dan Internasional. Kita terus bisa bertemu al-Jabiri setiap bulan dengan pikiran-pikiran segarnya lewat serial itu.

Mereka memang berkarya total di dunia yang menjadi keahliannya. Tidak tergoda untuk lompat-lompat ke dunia lain, politik misalnya. Urusan pimpinan tertinggi negara memang sudah final di negeri ini dengan sistem kerajaannya. Namun lebih dari itu, ruang untuk berekspresi tersedia cukup bagus, apalagi setelah Raja Muhammad VI naik tahta, tahun 1999. Lebih dari itu, kesejahteraan dosen juga sangat memadai untuk hidup lebih dari cukup dengan fasilitas yang memadai juga. Rata-rata, dosen PT bergaji 10000 dirham Maroko (setara 10 juta rupiah) dengan pengeluaran 5-6 ribu dirham perbulan. Maka tidak heran jika mereka ‘enjoy’ sekali dengan dunia membaca, meneliti, menulis dan mengeluarkan karya serius dan berkualitas.

Aku ingin cerita satu-satu tokoh-tokoh intelektual Maroko. Tunggu terus serial BIM ini. Insya Allah, nanti Aku cerita lebih rinci.

Plambik, 23 Mei 2007

Cerita Baru dari Negeri Matahari Terbenam

Belajar Islam di Maroko? Kedengarannya memang agak aneh. “Kenapa pilih Maroko?”, tanya heran seorang kawan sesama calon penerima beasiswa S2 Timur Tengah ketika kami berkumpul untuk pelatihan di Jakarta paruh akhir 2000. Sekenanya Aku bilang, “Aku mau belajar filsafat dan Bahasa Perancis”.

Pilihan belajar Islam di Maroko memang tidak selazim Mesir atau Arab Saudi. Yang terakhir ini adalah kiblat intelektual ulama Nusantara abad ke-17 s/d 19. Tentu dengan mudah kita bisa menyebut Syekh Nawawi Banten, Syekh Mahfudz Termas, Syekh Arsyad Banjar dan seterusnya sebagai nama-nama besar ulama Nusantara jebolan tanah Hijaz. Akhir abad ke-19, posisi sentral ini mulai bergeser ke Cairo. Pelajar Islam Nusantara mulai banyak belajar ke Universitas al-Azhar Mesir. Bahkan hingga saat ini, jumlah pelajar Islam Indonesia di Mesir tetap yang terbanyak jika dibandingkan dengan negara-negara lain di Timur Tengah.

Namun Maroko adalah cerita baru. Perhatian para pelajar Islam kini mulai sedikit bergeser ke barat. Ya, ke Maroko. Islam di negeri ini menawarkan banyak hal berbeda dan segar dari apa yang biasa kita temui di Indonesia, Saudi Arabia atau Mesir.

Aku betul-betul seperti memasuki kawasan “Islam yang lain” begitu mulai bersentuhan dengan dunia keagamaan di Maroko. Adzan Maroko. Dengan lagu sederhana dan pendek-pendek, panggilan shalat ini terasa aneh di telinga, tetapi asyik setelah menikmatinya. Mungkin, persis seperti makan buah Zaitun yang pertama kali terasa menyengat tetapi tidak bisa melepasnya setelah kita ketagihan. Kami sering tertawa sendiri ketika ada yang mencoba menirukan adzan Maroko ini.

Bacaan Qur’annya juga sangat khas. Bacaan Qur’an riwayat Imam Warsy yang dipakai di Maroko menjadi sesuatu yang sama sekali baru bagiku. Pesona bacaan ini akan terasa begitu lepas shalat Magrib. Di seluruh masjid di Maroko, setiap bakda shalat Magrib ada lingkaran-lingkaran semaan al-Qur’an oleh para imam dan jamaah masjid untuk mengulang hafalan al-Qur’an mereka. Karena saking banyaknya, fenomena para penghafal Qur’an menjadi sesuatu yang biasa di negeri ini.

Kembali aku teringat pesan Pak Tolchah Hasan. “Pelajari Fiqh Maliki-nya!”. Kita memang bisa melihat live penerapan Fiqh Maliki di negeri ini. Pernah aku diteriaki orang di sebuah masjid karena swar-swer saja memakai air untuk wudlu gaya Fiqh Syafii. Mereka hanya wudlu dengan seember kecil air. Setiap mengusap anggota wudlu, mereka akan kembali mencelupkan tangan ke ember kecil tersebut. Cara wudlu yang betul-betul ideal bagi masjid yang mahal membayar air dan dipakai banyak jamaah. Hemat dan praktis. Yang asyik tentu saja di musim dingin. Di sebelah tempat imam selalu tersedia batu untuk tayammum. Mereka banyak tayamum di musim dingin, khususnya untuk shalat shubuh.

Aku juga sering kaget bercampur takut saat melihat anjing-anjing besar bersama tuannya bebas melenggang di tempat-tempat umum. O ya, bukankah anjing tidak najis menurut Fiqh Maliki?. Anjing menjadi sangat bersahabat dengan orang Maroko. Sambil tersenyum, mereka akan bilang, “ma tkhfsy” (jangan takut!), jika melihat kita agak ragu untuk berpapasan saat mereka berjalan membawa anjing-anjing mereka. Aku ngeri juga dekat-dekat anjing yang segede-gede anak kerbau itu!

Fiqh Maliki memang telah melembaga secara kultural dan formal di negeri ini. Masyarakat hidup sehari-hari dengan Fiqh Maliki. Identitas keberagamaan orang Maroko bisa disebut sebagai: berfiqh Maliki, bertashawuf Junaid al-Bagdadi dan berakidah Asy’ari. Selain fokus ke Fiqh Malikinya, tidak beda bukan dengan identitas keberagamaan kaum Nahdliyyin di Indonesia?. Secara formal negara mengadopsi Fiqh Maliki sebagai acuan utama dalam fatwa dan pengundangan hukum. Bahkan lebih dari itu, secara intelektual Fiqh Maliki mendapat ekspresi dan eksplorasi yang istimewa.

Di perpustakaan umum Tetouan, aku pernah menemukan dokumentasi berjilid-jilid seminar tentang Qadli Iyadl, salah satu tokoh Madzhab Maliki kebanggaan Maroko. Tesis dan disertasi banyak yang didekasikan untuk mengembangkan fiqh Maliki. Lembaga-lembaga pendidikan tinggi juga banyak yang bekerja untuk itu. Darul Hadits al-Hassaniyah, lembaga pendidikan tinggi terkemuka di Rabat, salah satunya didirikan untuk melestarikan dan mengembangkan Fiqh Maliki. Di lobi kampus, kita akan dengan mudah menemukan pajangan karya-karya disertasi para alumnusnya yang sekarang sudah menjadi ulama-ulama terkemuka di Maroko yang bertema detil-detil Fiqh Maliki.

Yang lebih memikat, eksplorasi di wilayah ushul fiqh juga tidak kurang gencar dilakukan. Ilmu Maqashid Syariah yang menemukan bentuk teoritisnya di tangan Syekh Abu Ishaq as-Syathibi juga menjadi daya tarik studi Islam di Maroko. Perhatiannya tidak lagi di tingkat orang per orang, tetapi lembaga. Untuk menyebut orang, Syekh Allal al-Fasi menulis buku “Maqashid as-Syariah al-Islamiyah wa Makarimuha”, Dr. Ahmad ar-Raisuni menulis “Nadzariyat al-Maqashid ‘Inda al-Imam as-Syathibi”, Dr. Abdul Majid as-Shugair menulis “al-Fikr al-Ushuli wa Isykaliyat as-Sulthah al-Ilmiyah fi al-Islam: Qiraah fi Nasy’at Ilm al-Ushul wa Maqashid as-Syari’ah”, dll. Sementara di tingkat lembaga, banyak jurusan S2-S3 yang khusus dibuka untuk mempelajari Maqashid Syariah dengan segala isi dan horizonnya.

Aku kira, menyerap Fiqh Maliki, Ushul dan Qawaid Fiqh-nya saja, tidak selesai hanya dalam waktu enam tahun. Apalagi jika ditambah dengan warisan intelektual Andalusia yang tidak kalah menariknya. Apalagi jika ditambah dengan serapan filsafat Eropa Modern, terutama Filsafat Perancis, yang dilakukan para intelektual Maroko secara berani dan bertanggung jawab. Apalagi jika ditambah dengan eksperimentasi para ulama Maroko di dunia tasawuf amali yang sudah diakui dunia Islam dengan zawiyah-zawiyah-nya (semacam pesantren) yang tersebar di seluruh penjuru negeri.

Dr. Hamid Asysyaq, Dosen dan Ketua Jurusan di Darul Hadits al-Hassaniyah yang suatu saat sempat kami undang berdiskusi di sekretariat Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Maroko berpesan agar kami jangan berhenti belajar di Maroko sebelum menangkap mutiara keilmuan ulama-ulama Maroko. Sejauh tangkapanku, Maroko memang memiliki pesona di Ilmu Maqashid, Filsafat Islam warisan Andalusia dan eksperimentasi olah rasa (tasawuf amali) yang dikembangkan para Sufi Maroko. Di sinilah, Aku menemukan jawaban mengapa belajar Islam ke Maroko.

Aku rasa, kalau AMCI (Agence Marocaine de Cooperation Internationale), lembaga di Kementerian Luar Negeri yang mengurus mahasiswa asing di Maroko, tetap memberi jatah sekitar 15 beasiswa per tahun untuk mahasiswa Indonesia yang hendak melanjutkan studi ke Maroko, cerita baru dari Negeri Matahari Terbenam ini akan semakin ramai di dunia intelektual Islam Indonesia.

Plambik, 17 April 2007

Negeri Eksotik di Ujung Barat Dunia Islam

Bercerita tentang Maroko? Iya, itulah yang diminta Sahabat MN.Harisuddin (Pimred Majalah Khittah) setelah enam tahun Aku belajar Islam di negeri itu.

Aku masih ingat, Januari 2001, Menteri Agama RI ketika itu, Bpk. M. Tolchah Hasan bercerita bahwa Maroko adalah negeri eksotis. Negeri yang lengkap. Negeri yang pemahaman Islam penduduknya mendalam, bukan melebar (seperti di negeri kita). Negeri yang mengadopsi sistem pendidikan Perancis dengan tetap mempertahankan akar panjang tradisi intelektual Islamnya. Negeri polyglotte, yang penduduknya setidaknya berbicara dua bahasa asing (paling banyak: Perancis-Spanyol) disamping bahasa asli, Amazig dan Arab. Negeri yang menganut fiqh Maliki. Maka pesan Pak Tolchah kepada kami yang hendak belajar Islam (S2) di Maroko ketika itu, “pelajarilah Fiqh Maliki-nya dan kuasai Bahasa Perancis-nya”.

Benar saja. 14 Januari 2001, kami (9 orang mahasiswa utusan Depag RI) menginjakkan kaki di Bandara Muhammad V Casablanca, Maroko. ‘Celana monyet’ (celana panjang penahan dingin) dan jaket tebal yang memang sudah kami siapkan sejak dari Jakarta, tidak sanggup menahan hawa dingin yang menusuk. Januari memang masih puncak musim dingin di negeri ini. Inilah hal baru pertama yang Aku hadapi begitu sampai di Maroko. Bertarung melawan dingin. Aku yang terbiasa kepanasan saat belajar di Sukorejo Situbondo, harus mengakrabi hawa yang kontras kini.

Sebagaimana negeri-negeri di Eropa, Maroko memang mengenal empat musim: dingin, semi, panas dan gugur. Yang paling berat bagiku, tentu saja musim dingin. Ihhhhh.... dingin dimana-mana. Bahkan di Kota Ifran, musim dingin berarti musim salju. Di Oukemeden, Marrakech, malah ada gunung salju abadi. Tapi meski berat, kalau sedang mengunjungi tempat wisata salju, jadi asyik saja. Suasananya romantis: putih. Kita bisa saling lempar salju atau berguling-guling di salju sambil menggigil kedinginan...

Pagi itu, mobil Camion putih milik KBRI Rabat sudah menunggu untuk mengangkut kami ke Rabat, Ibu Kota Maroko. Jarak tempuh yang satu jam setengah tidak terasa lama karena Aku asyik mengamati sepanjang jalan dari Bandara Casablanca ke Rabat. Warna dominan hijau menghiasi sepanjang tepi jalan. Belakangan Aku tahu, kalau komoditas utama Maroko adalah pertanian dan perkebunan. Hampir sepanjang tahun, penduduk Maroko menggarap pertanian dan perkebunan yang berproduksi sesuai musim. Buah-buahan misalnya: jeruk di musim dingin dan melon atau semangka di musim panas.

Melewati Februari, seperti negeri yang disulap, Maroko berubah indah-berseri. Ada bunga dimana-mana. Suatu ketika Aku pernah kembali dari Arab Saudi di awal Maret. Menjelang pesawat landing adalah saat-saat yang betul-betul tidak boleh dilewatkan. Tanah di Maroko berubah bak dilapisi permadani yang berwarna-warni. Bunga-bunga yang sedang bersemi itu bagaikan bidadari cantik yang tak henti mengumbar senyum. Kalau kita melintas di sepanjang jalan tol pun, kiri-kanan jalan dipenuhi bunga-bunga yang sedang mekar. Hati pun ikut berbunga-bunga di musim semi.

Ketika musim panas tiba, warga Maroko berubah penuh vitalitas. Musim panas adalah musim libur sekolah. Lebih dari sebulan mereka menikmati liburan musim panas. Pantai-pantai dipenuhi orang dari segala usia; dari sepanjang pantai Laut Altantik di selatan dan sepanjang pantai Laut Tengah di utara. Dari Casablanca sampai Tetouan, masyarakat Maroko sangat antusias berlibur ke pantai. “Yalla, Namsyi ‘lbhr (ayo ke pantai!)”, kata mereka selalu saat kita bertemu di musim panas.

Aku dan beberapa kawan yang kuliah di utara, Kota Tetouan, ikut menikmati wisata Pantai Martil, Tres Pedras atau Cabo Negro di pinggiran Laut Tengah (Mediterania). Kawasan wisata pantai laut tengah ini menjadi wisata primadona warga Maroko di Eropa yang di musim panas ramai-ramai mudik ke kampung halamannya. Pokoknya, belajar jadi agak susah di musim panas. Banyak godaan. Gadis-gadis Maroko daerah utara yang berciri khas campuran Arab-Eropa dengan kulit putih bersemu merah itu... Alamaaak, begitu menggoda!

Naik sedikit dari Tetouan, ke kota Tanger, kita akan menemukan tempat pertemuan Laut Tengah dengan Laut Atlantik yang disebut “multaqal bahrain”. Konon tempat inilah yang disebut dalam al-Qur’an, Surat al-Kahfi sebagai tempat bertemunya Nabi Musa dan Orang Shaleh yang banyak orang menyebutnya Nabi Khidir. Katanya, air di lokasi pertemuan dua laut itu masih tetap tawar sampai di kedalaman laut.

Di selatan, Maroko memiliki padang pasir yang indah dan menjadi perhatian dunia. Tentu kita pernah mendengar “Rally Paris-Dakar”. Daerah padang pasir Maroko menjadi rute yang juga dilalui rally kelas dunia yang menempuh rute dari Paris (Perancis) ke Dakar (Senegal) itu. Wilayah Maroko yang berdekatan dengan Mauritania dan Senegal ini juga mengundang perhatian insan film dunia. Di Warzazat, ada studio alam berlatar padang pasir yang pernah menjadi lokasi pembuatan beberapa film Hollywood. Yang paling spektakuler adalah Film Gladiator yang berhasil menyabet beberapa Piala Oscar. Daerah ini juga menjadi perhatian PBB karena Sahara Barat masih menjadi wilayah sengketa tiga pihak: Maroko yang bersiteguh wilayah ini masih bagian tak terpisahkan darinya, Kelompok Pro Kemerdekaan Sahara Barat dan Aljazair yang mendukung inisiatif kelompok ini.

Segala pernak-pernik kehidupan padang pasir ada disini. Masyarakatnya yang berkulit coklat kehitaman, gadis-gadisnya yang hitam manis, pakaian jubah khas padang pasir, unta dan rumah-rumah dari tanah menjadi daya tarik kawasan ini. Banyak film-film dan sinetron Arab –baik yang berlatar sejarah maupun percintaan kontemporer-- yang dilahirkan di lokasi ini.

Betul kata Pak Tolchah. Maroko memang negeri eksotis yang lengkap. Di sini ada tanah subur dengan pohon-pohon zaitun yang hijau tetapi juga ada padang pasir yang memancarkan panorama siluet coklat keemasan. Di sini ada masyarakat laut tengah dengan segala anugerah alam dan warisan pertemuan peradaban Mediterania yang punya akar sejarah panjang, tetapi juga ada masyarakat dengan pengaruh Atlantik yang bermukim dari tengah ke selatan Maroko. Di sini ada gadis-gadis berkulit putih kemerahan peninggalan sejarah Andalusia, tetapi ada juga gadis-gadis hitam manis anak-anak padang sahara.

Maroko memang negeri eksotis yang lengkap....

Plambik, 20 Maret 2007

Awal

Pernak-pernak pengalaman belajar Islam di Maroko. Disajikan dalam bentuk features.